Pengadilan Negeri Mataram baru-baru ini menjatuhkan vonis pidana selama 12 tahun penjara kepada Semah, yang merupakan mantan pegawai Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat. Keputusan ini terkait dengan tuduhan bahwa Semah telah menghamili seorang mahasiswi, yang kemudian melahirkan seorang anak dari hasil hubungan tersebut.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram, Lalu Moh. Sandi Iramaya, mengonfirmasi bahwa vonis tersebut sudah terdaftar dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di Pengadilan Negeri Mataram. Ia menegaskan bahwa putusan tersebut memang benar, sesuai dengan data yang tersedia.
Dalam amar putusan perkara nomor: 540/Pid.Sus/2025/PN Mtr yang dikeluarkan pada 4 Desember 2025, majelis hakim, yang dipimpin oleh Mukhlassuddin, menyatakan bahwa Semah terbukti secara sah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b UU RI Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Proses Hukum dan Pembuktian Kasus Ini
Proses hukum yang dilakukan dalam kasus ini menyoroti seriusnya pelanggaran yang dilakukan oleh Semah. Majelis hakim menilai bahwa semua bukti yang diajukan oleh penuntut umum telah cukup untuk mendukung tuduhan tersebut. Salah satu bukti kunci yang diajukan adalah buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari anak yang lahir dari hubungan antara Semah dan si korban.
Dalam pengambilan keputusan, hakim tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga dampak sosial dari kasus ini. Kasus yang melibatkan kekerasan seksual selalu menyita perhatian publik, menyebabkan sorotan lebih besar terhadap pelaku dan sistem hukum yang ada.
Selain menjatuhkan hukuman penjara, majelis hakim juga mengatur pidana denda sebesar Rp60 juta, yang jika tidak dibayar, dapat digantikan dengan 6 bulan kurungan. Ini menunjukkan keseriusan pengadilan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dengan memberikan efek jera bagi pelaku.
Tanggapan Publik dan Reaksi Terhadap Putusan Ini
Putusan yang dijatuhkan terhadap Semah mendapatkan reaksi beragam dari masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa 12 tahun penjara merupakan langkah tepat dalam memberikan keadilan bagi korban. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukuman tersebut seharusnya lebih berat mengingat dampak akibat tindakan pelaku yang telah mengubah hidup si korban.
Reaksi di media sosial pun beragam, dengan beberapa netizen mengungkapkan dukungan kepada korban dan menyerukan perlunya tindakan lebih lanjut untuk memastikan keselamatan mahasiswa di institusi pendidikan. Isu kekerasan seksual menjadi agenda penting yang harus disikapi oleh para pemangku kebijakan.
Keputusan ini juga memicu diskusi lebih lanjut mengenai perlunya penanganan serius terhadap kasus kekerasan seksual di kampus. Banyak yang berharap bahwa institusi pendidikan akan meningkatkan langkah-langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Implikasi Jangka Panjang untuk Korban dan Masyarakat
Vonis terhadap Semah bukan hanya soal hukuman bagi individu, tetapi memiliki implikasi yang lebih luas. Korban, dalam hal ini, harus menanggung stigma sosial dan dampak psikologis yang mungkin berlangsung lama. Pendidikan dan dukungan psikologis sangat diperlukan bagi korban untuk memulihkan kembali kehidupannya.
Kasus ini juga menunjukkan perlunya edukasi mengenai kekerasan seksual di kalangan mahasiswa. Pihak universitas dan lembaga terkait harus lebih proaktif dalam memberi pemahaman tentang hak dan perlindungan yang dimiliki oleh individu dari kekerasan tersebut.
Di sisi lain, masyarakat diharapkan lebih bersolidaritas dengan korban dan tidak menghakimi mereka. Keterbukaan untuk berbicara tentang kekerasan seksual dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua orang.














