PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menunjukkan komitmen yang kuat untuk mempercepat proses hilirisasi bauksit menjadi alumina dan aluminium. Hal ini sejalan dengan proyeksi kebutuhan nasional yang diperkirakan akan melonjak hingga 600% dalam tiga dekade mendatang.
Peningkatan konsumsi aluminium terutama disebabkan oleh transformasi besar dalam sektor kendaraan listrik dan ekspansi energi terbarukan. Industri tersebut kini memerlukan jumlah aluminium yang sangat besar untuk berbagai aplikasinya.
Direktur Pengembangan Usaha Inalum, Arif Haendra, menegaskan bahwa Indonesia berada pada momentum penting untuk membangun industri aluminium yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Upaya ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga meningkatkan daya saing di kancah internasional.
Sejak tahun 2018 hingga 2024, kebutuhan aluminium nasional masih dipenuhi oleh pasokan impor yang mencapai 54%. Di sisi lain, kontribusi Inalum hanya berada di level 46%, sebuah ketergantungan yang dinilai tidak ideal bagi masa depan industri.
“Konsumsi aluminium nasional akan meningkat pesat, terutama untuk baterai kendaraan listrik dan pembangunan energi surya. Satu pack baterai EV membutuhkan sekitar 18% aluminium, sedangkan untuk pembangunan pembangkit surya dibutuhkan sekitar 21 ton aluminium per 1 MW,” menurut Arif, menandaskan urgensi percepatan hilirisasi yang diperlukan.
Hilirisasi mineral bauksit bukan hanya sekadar program industri, tetapi langkah strategis untuk menjaga ketahanan bahan baku nasional. Indonesia perlu mempercepat pembangunan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) dan smelter aluminium baru untuk memenuhi proyeksi lonjakan konsumsi yang begitu signifikan.
Arif menjelaskan bahwa industri aluminium beroperasi melalui rantai produksi yang sangat terintegrasi. Untuk memproduksi 1 ton aluminium, diperlukan sekitar 6 ton bauksit untuk diolah menjadi 2 ton alumina, sebelum menjalani proses elektrolisis. Proses tersebut mengharuskan investasi hulu dan hilir dilakukan secara paralel dan terencana.
“Oleh karena itu, Inalum menempatkan pengembangan SGAR tahap 1 dan 2, serta pembangunan smelter baru dan ekspansi potline, sebagai agenda prioritas. Ini sangat penting untuk mencapai keberlanjutan industri aluminium di Indonesia,” ujar Arif.
Peran Krusial Aluminium dalam Sektor Kendaraan Listrik
Peralihan ke kendaraan listrik semakin menuntut penggunaan aluminium yang lebih besar. Aluminium menjadi bahan utama dalam pembuatan bodi dan komponen kendaraan listrik karena beratnya yang ringan dan daya tahannya.
Dalam pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, kandungan aluminium memiliki peran penting. Sekitar 18% dari sebuah battery pack mengandung aluminium, menjadikannya bahan yang vital untuk industri otomotif masa depan.
Transformasi ini bukan hanya mendukung inovasi dalam kendaraan tetapi juga membuka peluang untuk berbagai aplikasi baru. Hal ini mendorong produsen untuk mencari solusi berkelanjutan dalam memenuhi permintaan yang meningkat.
Proyek-proyek infrastruktur yang lebih banyak membutuhkan aluminium kian meningkat. Penggunaan aluminium dalam pembangunan pabrik dan stasiun pengisian daya kendaraan listrik merupakan salah satu contohnya.
Peningkatan konsumsi aluminium di sektor ini menunjukkan pentingnya mengembangkan rantai pasokan yang efisien. Kolaborasi antarindustri akan sangat diperlukan untuk memastikan semua pihak dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pasar.
Menghadapi Tantangan di Industri Aluminium
Industri aluminium tidak lepas dari berbagai tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan tersebut adalah ketergantungan pada pasokan bauksit untuk produksi alumina dan aluminium.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor, perlu adanya investasi yang signifikan dalam teknologi dan proses produksi dalam negeri. Hal ini akan membantu mengoptimalkan efisiensi dan kapasitas produksi.
Inalum telah berkomitmen untuk melakukan investasi di bidang ini guna meningkatkan kapasitas produksinya. Proyek pembangunan smelter baru dan pengembangan SGAR akan berperan penting dalam menciptakan ketahanan dan kemandirian bahan baku.
Di pasar internasional, persaingan yang ketat juga menjadi perhatian. Negara-negara lain semakin banyak berinvestasi dalam teknologi dan infrastruktur aluminium, sehingga Indonesia harus mempersiapkan diri agar tetap kompetitif.
Strategi jangka panjang dan pendek harus diterapkan untuk mengatasi tantangan ini. Inovasi dan efisiensi dalam proses produksi adalah kunci keberhasilan untuk menciptakan energi dan material yang ramah lingkungan.
Dampak Hilirisasi terhadap Ekonomi Nasional
Hilirisasi bauksit menjadi alumina dan aluminium memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi nasional. Dengan berkurangnya ketergantungan pada impor, Indonesia dapat meningkatkan perekonomian lokal dengan menciptakan lapangan kerja baru.
Posisi Indonesia sebagai produsen aluminium juga dapat diperkuat, memberi peluang untuk ekspor bahan baku dan produk jadi. Hal ini tentunya akan meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan juga akan terwujud melalui hilirisasi. Ketersediaan aluminium dalam negeri memungkinkan pengembangan proyek-proyek besar yang berbasis energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Dengan visi dan misi yang jelas, Inalum berkomitmen untuk menjadi pelopor dalam industri aluminium yang berkelanjutan. Upaya ini sejalan dengan ikhtiar pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Industri aluminium yang maju akan menjadi lokomotif bagi sektor-sektor lain dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam hilirisasi bukan sekadar pemenuhan kebutuhan, tetapi juga langkah strategis untuk kemajuan bangsa.














