Kontinuitas kebijakan eksploitatif yang diterapkan pada rakyat Jawa mencapai puncaknya melalui sistem perpajakan yang semakin memberatkan. Raden Adipati Ario Joyodiningrat dalam karyanya Sketsa Perang Jawa 1825 mencatat detail berbagai jenis pajak yang menindas rakyat. Pajak ini meliputi pacumpleng (pajak pintu), grigajih (pajak orang), pengawang-awang (pajak pekarangan), dan pajigar (pajak terhadap berbagai hewan), yang semuanya memperparah kondisi ekonomi masyarakat. Sistem pajak ini menjangkau semua aspek kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kegiatan yang sepele sekalipun.
Bagi rakyat, melakukan perbaikan terhadap alat musik atau cat rumah menjadi aktivitas yang berisiko karena dikenakan pajak. Setiap kali ingin memperbaiki gamelan, mereka harus membayar 50 duit, dan untuk perbaikan kereta, biayanya mencapai 7,50 gulden. Keberadaan pajak-pajak ini tidak hanya membebani secara finansial, tetapi juga merendahkan harkat dan martabat rakyat Jawa yang terpaksa menjatuhkan diri pada kesulitan demi memenuhi tuntutan pemerintah.
Joyodiningrat juga mengungkapkan adanya praktik korupsi yang merajalela di kalangan pejabat. Ketika seorang bupati atau pangeran meninggal dunia, tanah yang mereka miliki akan digantung statusnya dan ditahan di kantor selama bertahun-tahun. Uang yang seharusnya menjadi hak rakyat justru mengalir ke saku pribadi Patih Danurejo IV selama waktu tersebut. Praktik ini menciptakan krisis dalam struktur pemerintahan serta memperburuk kualitas layanan kepada masyarakat.
Situasi ini berimbas pada pemerintahan di tingkat desa, yang merupakan ujung tombak interaksi antara pejabat dan rakyat. “Apabila seorang bekel tidak mampu membayar pajak tanah, posisi tersebut akan digantikan oleh individu yang dapat membayar,” tulis Joyodiningrat. Hal ini menciptakan ketegangan di dalam masyarakat, menyebabkan munculnya konflik antar desa yang tidak kunjung mereda.
Pada saat yang sama, keraton sebagai pusat kekuasaan juga mengalami penurunan moral. Irfan Afifi mencatat bahwa dampak kerusakan ini tidak hanya terlihat pada masyarakat, tetapi juga menghantam lingkungan internal keraton. Para pangeran terjerumus dalam kebiasaan buruk, termasuk penyalahgunaan narkoba dan sikap korup yang merusak integritas moral mereka. Di sini muncul gambaran bahwa pemimpin yang seharusnya melindungi rakyat justru berperilaku sebaliknya.
Degradasi moral ini terlihat bukan sebagai kebetulan, melainkan hasil dari strategi kolonial yang bertujuan untuk melemahkan perlawanan elite lokal. Beberapa individu dalam lingkungan keraton bahkan terlibat dalam praktik memperjualbelikan perempuan untuk para pejabat kolonial. Hal ini semakin memperburuk citra keraton dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka.
Praktik Ekspansi Tanah dan Hasilnya
Pemasangan patok jalan di lahan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo menjadi titik balik yang memicu ketegangan lebih besar. Patih Danurejo IV, yang berkomitmen pada kolonial, memutuskan untuk memperluas jalan tanpa memberi tahu pemilik asli tanah. Tindakan ini memicu reaksi dari Diponegoro yang mencabuti patok tersebut dan meminta agar Patih tersebut dipecat. Ketidakpuasan ini adalah puncak dari akumulasi kebijakan yang tidak adil yang sudah dirasakan oleh rakyat.
Kondisi sosial yang tidak menguntungkan ini membuat Pangeran Diponegoro merenungkan langkah selanjutnya. Dengan basis spiritual yang kuat, ia mencari petunjuk dari Tuhan untuk mengetahui tindakan yang tepat dalam menghadapi penindasan yang semakin nyata. Keputusan untuk mengangkat senjata akhirnya datang sebagai respons terhadap ketidakadilan yang melanda rakyatnya.
Masyarakat yang merasa teraniaya memberikan dukungan penuh kepada Pangeran Diponegoro. Keterlibatan berbagai lapisan masyarakat membuktikan bahwa Perang Jawa bukan sekadar gerakan elit, melainkan sebuah mobilisasi massa yang melibatkan berbagai kalangan. Rakyat dari beragam latar belakang bersatu untuk melawan kekuasaan yang menindas.
Strategi Militer dan Konsekuensi Perang
Perang Jawa menjadi salah satu perang terbesar dalam sejarah yang menggunakan strategi militer yang terorganisir dengan baik. Diponegoro mengadaptasi struktur militer dari Turki Ustmani, menciptakan nama-nama unik untuk unit pasukannya seperti Bulkiya dan Barjumuah. Ini menjadi simbol perlawanan yang terencana dan tidak bisa dianggap remeh, sehingga menarik perhatian dunia internasional.
Perang ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar, dengan catatan bahwa sekitar 200.000 orang sipil, serta ribuan tentara Belanda dan prajurit pribumi menjadi korban. Total kerugian finansial Belanda juga mencapai 20 juta gulden, mencerminkan dampak besar yang ditimbulkan dari pertempuran ini. Situasi ini menggugah kesadaran akan kebutuhan mendasar untuk melakukan perubahan sosial yang lebih adil dalam masyarakat.
Perang ini berlangsung hingga tahun 1830, ketika Pangeran Diponegoro ditangkap secara licik dan kemudian diasingkan. Dengan penangkapan dan pembuangan ini, banyak yang berpendapat bahwa ketidakadilan yang mendalam tidak bisa diselesaikan hanya dengan menghilangkan pemimpin perlawanan. Sejarah menunjukkan bagaimana dampak dan warisan perjuangan ini terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang untuk memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Warisan Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Sejarah
Warisan Perang Jawa dan perjuangan Pangeran Diponegoro memiliki pengaruh yang mendalam dalam sejarah Indonesia. Dia tidak hanya dikenang sebagai pemimpin militer, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan. Perjuangannya melawan ketidakadilan terus menginspirasi banyak orang hingga saat ini.
Banyak pihak yang menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak rakyat dan mendorong kesadaran akan pentingnya persatuan dalam menghadapi penjajahan. Nilai-nilai yang diperjuangkan olehnya, seperti keberanian dan ketahanan, tetap relevan, khususnya dalam konteks perjuangan hak asasi manusia saat ini.
Dalam konteks modern, peringatan terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro memberikan pelajaran penting tentang perlunya melawan ketidakadilan. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan penindasan akan memicu reaksi, dan sifat manusia untuk memperjuangkan keadilan akan selalu ada. Akhir dari Perang Jawa bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi justru titik awal untuk melanjutkan cita-cita kebebasan.














