Di tengah ketegangan hukum yang mendera, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dan Polda Metro Jaya berseteru dalam sidang Praperadilan. Perdebatan ini berpusat pada penangkapan Khariq Anhar, yang diduga terlibat dalam kasus penghasutan dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pihak TAUD menyatakan penangkapan Khariq dilakukan secara paksa dan melawan hukum, menciptakan polemik tentang bagaimana seharusnya proses penegakan hukum berjalan di Indonesia. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini, berbagai argumen diajukan oleh kedua belah pihak.
Pernyataan Gema Gita Persada, salah satu anggota tim hukum TAUD, menunjukkan ketidakpuasan terhadap prosedur penangkapan yang dinilai tidak manusiawi. Dia menjelaskan bahwa Khariq ditangkap secara kasar di tempat umum, yang menimbulkan pertanyaan etika dalam pelaksanaan hukum.
Proses Praperadilan dan Argumen yang Disampaikan
Sidang Praperadilan ini menjadi ajang untuk mempertentangkan pandangan hukum mengenai sah tidaknya penangkapan. TAUD berargumen bahwa penangkapan Khariq melanggar prosedur dan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi. Dalam konteks ini, mereka meminta agar Khariq dihadirkan untuk memberikan keterangan langsung di persidangan.
Gema Gita Persada menyoroti pentingnya kehadiran Khariq sebagai pemohon dalam persidangan. Hal ini dinilai krusial untuk memberikan gambaran yang objektif tentang bagaimana penangkapan itu berlangsung dan apakah prosedur hukum telah diikuti.
Menjawab permintaan itu, Fahrizal Dirhan, anggota TAUD lainnya, menekankan bahwa kehadiran Khariq sangat penting untuk membuktikan tuduhan yang diajukan. Mereka ingin mengungkap semua fakta yang relevan untuk menilai keabsahan tindakan hukum Polda Metro Jaya.
Bantahan dari Polda Metro Jaya mengenai Proses Penangkapan
Polda Metro Jaya menghadapi pernyataan yang mengguncang ini dengan bantahan tegas. Mereka menegaskan bahwa semua tindakan dalam penangkapan Khariq mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Menurut anggota Bidang Hukum Polda Metro Jaya, tidak ada yang salah dalam cara penangkapan, dan itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Mereka menolak semua dakwaan yang menyatakan bahwa penangkapan tidak sah. Bidkum Polda Metro Jaya menyatakan telah mengikuti semua prosedur, termasuk memberikan salinan dokumen penangkapan kepada keluarga yang bersangkutan, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Dalam tanggapannya, Polda juga mengklaim bahwa penangkapan dilakukan berdasarkan bukti awal yang cukup, termasuk keterangan saksi dan bukti digital dari media sosial. Argumen ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan dugaan, tetapi juga pada fakta yang dapat diuji.
Implikasi Hukum dan Prosedural dari Kasus Ini
Kasus ini tidak hanya berfokus pada individu Khariq Anhar, tetapi juga membuka diskusi luas mengenai penerapan hukum di Indonesia. Proses Praperadilan ini berpotensi menjadi preseden bagi banyak kasus serupa di masa depan. Apakah penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara yang etis dan sesuai dengan hak asasi manusia menjadi pertanyaan yang mendesak.
Sementara itu, pihak kejaksaan telah menerima berkas perkara dan menunggu hasil pemeriksaan. Jika berkas dinyatakan lengkap, proses pelimpahan tersangka dan barang bukti akan dilanjutkan. Oleh karena itu, permohonan Praperadilan ini bisa saja gugur.
Ketiganya menjadi sorotan publik dan menambah kompleksitas dalam penanganan kasus. Terdapat Direktur Lokataru Foundation, staf, serta admin akun media sosial yang juga terlibat dalam kasus ini, menjadi bukti bahwa isu pengawasan dan kebebasan berekspresi menjadi perhatian utama dalam situasi ini.